Menilik Diksi Anjay Perspektif Hukum Pidana
“Menilik Diksi Anjay Perspektif Hukum Pidana”
Oleh: Abd. Rahman
Mahasiwa Hukum IAIN Jember, Penggiat Pendidikan Pemuda Desa,
Penulis Lepas dan pegiat Literasi.
Sepekan lalu publik digegerkan dengan diksi anjay yang ramai
diperbincangkan dan diperdebatkan di media sosial, pro dan kontra memenuhi
akselerasi galeri media.
Kabarnya penggunaan kata ini dilarang dan ada ancaman
pidana bagi yang menggunakannya.
Menilik diksi anjay tersebut, ternyata
pelarangan kata ini berasal dari Komnas PA (Komisi Nasional Perlindungan Anak)
yang mengkategorikan kata anjay ini sebagai kata yang berpotensi mengandung
unsur bullying dan kekerasan verbal.
Secara definitif, istilah anjay adalah ungkapan plesetan atau kata
yang diperhalus dari kata aslinya. Menurut Ketua Program Studi Sastra Indonesia
Universitas Padjadjaran Dr. Lina Meilinawati Rahayu mengungkapkan istilah anjay
berasal dari nama hewan yaitu anjing. “Anjay itu kan plesetan dari anjing ya,
kata anjing kan kasar, jadi untuk gaul diplesetkan”. Ujarnya, Senin (31/08/2020).
Oleh karenanya, Komnas Perlindungan Anak meminta penggunaan kata “anjay” segera
dihentikan, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Komnas PA bahkan
menyebutkan, bahwa penggunaan kata “anjay” ini jika mengandung unsur kekerasan
dan merendahkan martabat seseorang maka itu termasuk salah satu bentuk bullying
dapat dipidanakan.
Jadi, dalam ihwal ini menurut penulis negara berupaya ingin
mengatur seluruh aspek kehidupan warganya, yang mana hal itu tidak etis atau
terlalu berlebihan jika kebebasan berekspresi itu dilarang, padahal jika kita
telisik secara sosial mengekspresikan bahasa dalam tubuh manusia, khususnya
saat berinteraksi itu merupakan hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Tentu di antara kita ada yang sependapat dan ada pula yang tidak
sependapat dengan Komnas PA ini. Untuk memidanakan penggunanya jelas terlalu
berlebihan, akan tetapi bila sekadar dilabelisasi ucapan yang kurang baik,
tidak sopan, atau tidak sesuai dengan adat masing-masing, barangkali lebih
logis.
Jadi, solusi lebih tepatnya bukan pemidanaan, namun lebih kepada
penyadaran dan pembelajaran pedagogis.
Pandangan Hukum Pidana
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi
pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah yang
lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian
pidana, dan hukuman pidana.
Hukum pidana merupakan istilah yang lebih khusus,
maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan
ciri-ciri atau sifatnya yang khas. Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dalam doktrin klasik hukum pidana dinyatakan Gen Straf Zonder
Schuld, tiada pidana tanpa kesalahan (bukan dibalik menjadi tiada kesalahan
tanpa pidana). Dengan ungkapan lain adalah Actus Non Facit Reum Nisi Mens
Sit Rea (satu tindakan tidak menyebabkan seseorang dihukum kecuali karena
pikirannya).
Dari dua prinsip di atas sangat nyata bahwa yang dihukum dalam
suatu peristiwa pidana adalah bukan orang tetapi kesalahan pikiran seseorang.
Karena itulah dalam pertanggungjawaban pidana orang yang tidak dapat menyadari
akibat dari perbuatannya tidak dapat dihukum. Inilah yang kemudian dirumuskan
dalam tindak pidana sebagai unsur subjektif.
Jika ada unsur subjektif untuk dapat terpenuhinya unsur tindak
pidana juga harus dipenuhi adanya unsur objektif, yaitu keadaan tentang telah
terjadinya suatu perbuatan.
Jika dibandingkan antara unsur subjektif dengan
unsur objektif, maka terlihat bahwa unsur subjektif dari terjadinya suatu
peristiwa lebih dominan dibandingkan unsur objektif. Pada asasnya, dalam hukum
pidana satu perbuatan baru dapat dinyatakan dihukum apabila perbuatan tersebut
telah selesai dengan sempurna.
Unsur-unsur tindak pidana telah terpenuhi
semuanya barulah dapat mengantarkan seseorang kepada pertanggungjawaban pidana
atau kata lain dapatlah dipidanakan.
Oleh karena itu dalam pandangan hukum pidana. Perumusan perbuatan
pidana dalam Undang-Undang dilakukan dengan cara formil-materiil, yaitu
permusan delik dengan menyebutkan cara-cara dilakukannya perbuatan pidana dan
sekaligus juga akibat yang timbul yang dilarang terjadinya oleh hukum.
Seperti
halnya dalam kasus kata anjay ini, sejak kapan kata anjay tersebut mengandung
unsur kekerasan dan merendahkan martabat seseorang. Di dalam suatu masyarakat
kata itu merupakan suatu ekspresi yang diucapkan sesuai dengan konteks yang
sedang dibicarakan.
Sejauh analisa penulis belum ada seseorang yang tersinggung
batinnya maupun yang terkena psikis mentalnya yang mengakibatkan traumatik yang
berkepanjangan.
Jadi, janganlah mendramatisir hal-hal yang sifatnya fundamental
serta menghegemoni opini publik seolah-olah kata anjay ini menjadi hal yang
sangat krusial. Dan jangan sampai karena ribut dengan kata anjay ini, kita jadi
terbawa arus dan lupa mengawal permasalahan besar di bangsa ini, yang menuntut
perhatian dan dorongan serius dari kita semua.
Tidak ada komentar untuk "Menilik Diksi Anjay Perspektif Hukum Pidana"
Posting Komentar