Romantisme Pemerintah dengan Influencer dan Buzzer Bayaran
oleh:
Wiebi Winarto
(Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang)
(Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang)
Instagram : @wiebiwn
Beberapa
hari lalu publik dikejutkan oleh sebuah temuan dari ICW (Indonesia Corruption
Watch), dalam temuan tersebut dinyatakan bahwa sepanjang tahun 2017-2020
pemerintah telah menggelontorkan anggaran senilai Rp. 1,29 trilliun total
anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital, dan Rp. 90,45
miliar diantaranya digunakan untuk jasa influencer.
Dikatakan oleh peneliti ICW pula, bahwasanya anggaran untuk membayar influencer tersebut terus mengalami
peningkatan sejak 2017.
Influencer
dalam dunia digital atau social media adalah akun-akun yang memiliki identitas
dan latar belakang yang jelas. Influencer biasanya adalah orang-orang yang
memiliki popularitas dimasyarakat yang dibayar untuk mengkampanyekan sesuatu
ditengah masyarakat melalui akun social media yang dimiliki.
Selain influencer
dalam dunia digital juga dikenal apa yang disebut dengan Buzzer, ialah akun-akun di social media yang tidak memiliki
reputasi untuk dipertaruhkan. Buzzer
cenderung adalah orang-orang yang tidak jelas identitas dan latar belakangnya. Buzzer sendiri ada yang dibayar dan
adaapula yang hanya sukarelawan.
Lalu,
apa sebenarnya tujuan pemerintah menggunakan Influencer dan Buzzer? Seperti
diketahui bersama, di era-revolusi industry 4.0 hari ini akselerasi teknologi
digital berkembang dengan begitu pesatnya. Digitalisasi telah menyelimuti
hamper disegala lini kehidupan.
Tak terkecuali kehidupan social-politik di
Indonesia. Bahkan Negara-negara diseluruh dunia kini sedang berlomba-lomba
untuk menjadi yang paling canggih dalam hal digitalisasi. Namun, disadari atau
tidak bahwasanya penggunaan teknologi digital sedikit banyak juga berimplikasi
negative terhadap kehidupan social-politik, bahkan kehidupan demokrasi
khususnya di Indonesia. Mengapa demikian?
Seperti
diketahui bersama penggunaan influencer
dan buzzer oleh pemerintah nampaknya
tidak saja digunakan untuk tujuan-tujuan sosialiasi kebijakan yang mana
merupakan sesuatu yang positif. Namun, keberadaan influencer dan buzzer
seakan dijadikan sebagai ‘alat gepuk’ bagi suara-suara yang kritis terhadap
pemerintahan, bagaimana tidak para buzzer
khususnya melalui kecanggihan teknologi telah membuat begitu banyak akun-akun fake yang akan melakukan bullying terhadap siapapun yang
menyuarakan pendapat berbeda terhadap pemerintah.
Hal
yang demikian tersebut akan dengan mudah kita jumpai pada laman-laman sosial
media, sebagai contoh adalah sosial media twitter,
didalam twitter terdapat fitur trending topic terkait isu yang paling
ramai sedang dibicarakan, seringkali isu-isu yang cenderung berbeda dengan
kebijakan pemerintah akan dengan cepat hilang dari posisi trending topic padahal isu-isu dibicarakan oleh lebih banyak
akun-akun yang jelas artinya bukanlah akun fake,
dan seketika posisi trending topic
dibanjiri oleh pembicaraan yang menyatakan keberpihakannya terhadap suatu
kebijakan pemerintah dan akun yang membicarakan isu tersebut jauh lebih banyak
akun fake bahkan isi dari satu akun
dengan yang lain seringkali spesifik sama dan ini sangatlah mudah
diidentifikasi dari isi akun dan isi tweet
yang disampaikan.
Penggiringan
opini secara paksa semacam ini tentu tidak dapat dibenarkan, sebab cara-cara
yang demikian dapat membuat masyarakat terjebak dalam popularism artinya hanya yang paling populer itulah yang dianggap
benar. Selain itu, menurut Noam Chomsky (2019:1) konsepsi demokrasi dapat
dibedakan menjadu dua.
konsepsi pertama, masyarakat demokratis ialah masyarakat
dimana public mempunyai alat yang cukup berpengaruh untuk berpartisipasi dalam
mengatur urusan-urusan mereka sendiri, dan alat informasi mereka bersifat
terbuka dan bebas. Konsepsi kedua, yakni masyarakat perlu untuk dihalangi dalam
usahanya mengatur urusan mereka, dan alat-alat informasi harus dikontrol secara
ketat.
Dari
kedua konsepsi tersebut, penulis berpandangan bahwasannya konsepsi kedua yang
saat ini sedang dijalankan oleh pemerintah, pemerintah seakan dengan sengaja
membayar para influencer dan buzzer untuk berusaha menghalangi
masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya dengan melakukan penggiringan opini
melalui social media.
Tentu hal semacam ini telah mencederai nilai-nilai
demokrasi dimasyarakat, hal ini tak ubahnya seperti neo-otoritarianisme dimana pemerintah
bertindak sesuai dengan kehendaknya dan menutup telinga terhadap setiap kritik.
Selain
itu terkait dengan upaya-upaya penghalangan terhadap setiap pendapat juga
merupakan hal yang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 dan UU No.9 th. 1998 terkait
kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Tentunya pemerintah tidak perlu khawatir
terhadap setiap kritik yang dilontarkan oleh masyarakat sepanjang pemerintah
memiliki rasionalitas terkait setiap kebijakan yang diambil, penggunaan influencer dan buzzer tersebut justru menunjukkan kepada public seakan-akan
pemerintah sendiri tidak yakin dengan kebijakan yang diputuskan.
Tidak ada komentar untuk "Romantisme Pemerintah dengan Influencer dan Buzzer Bayaran"
Posting Komentar